Ads 368x60px

SEMANGAT MENULIS KATA

Jumat, Mei 28, 2010

Menimbang kembali Pendidikan Multikulturalisme


Arus globalisasi terus mengalir dalam kehidupan masyarakat. Beberapa agenda-agendanya diluncurkan dan ditawarkan dipenjuru wilayah. Liberalisme, sekulerisme, pluralisme adalah agenda globalisasi, paham-paham tersebut terus menggerogoti pola pikir masyarakat. Kehadiran globalisasi perlu diwaspadai, sebab dari bebarapa agendanya sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat, baik sosial, budaya, politik bahkan agama. Salah satu wacana yang hadir dalam kehidupan masyarakat pada saat sekarang adalah istilah multikulturalisme. pada tulisan ini akan membahas tentang multikulturalisme.

Munculnya Multikulturalisme

Multikulturalisme adalah kesejajaran budaya. Masing-masing budaya manusia atau kelompok etnis harus diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan .(Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). Melihat istilah ini, multikulturalisme berarti ingin menumbuhkan sikap ragu-ragu atau skeptis sehingga yang ada hanya relatif. Kemudian juga Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, M.A dalam pengantar buku Pendidikan Multikultural mengatakan " setiap peradaban dan kebudayaan yang ada berada pada posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap tinggi (superior) dari kebudayaan lain. Ungkapan seperti inilah yang harus disikapi dengan arif dan bijak.

Dari ungkapan diatas bisa diartikan bahwa semua kebudayaan adalah sama tak ada yang lebih tinggi. Jika hal ini yang dimaksud berarti istilah baik dan buruk adalah memiliki makna yang sama. Sebab semua dipukul rata. Tidak ada yang lebih unggul. Padahal dalam ajaran islam suatu kebaikan adalah lebih tinggi derajatnya dari sesuatu yang lebih buruk. Sesuatu yang benar lebih mendapatkan tempat dari pada kesalahan. Islam juga sangat jelas membendakan haq dan bathil, muslim dan musyrik.
Sebetulnya istilah multikulturalisme dimunculkan dan ditawarkan untuk meminimalisir konflik antar budaya yang ada tetapi yang terjadi hanya kedamaian yang semu. Di era globalisasi adalah era keterbukaan. Tidak ada sekat pembatas antar golongan. Sehingga semua golongan akan bercampur baur dalam satu kehidupan. bahkan seorang ahli komunikasi Kanada, McLuhan mengatakan "dunia merupakan kampung besar (global Village). Dengan ada globalisasi berarti sekat-sekat yang ada harus di leburkan. Bahkan Samuel P. Huntington meramalkan dalam bukunya The Clas of Civilization akan terjadi benturan peradaban dan disinyalir akibat dari beberapa factor: politik, sosial, budaya, ekonomi, ras dan bahkan agama.

Namun, sangat disayangkan, solusi yang ditawarkan bukan meminimalkan permasalahan tetapi sebaliknya menambah permasalahan. Dengan menawarkan solusi multikulturalisme, berarti akan mengaburkan nilai-nilai yang ada. Adapaun nilai-nilai tersebut seperti norma agama, baik-buruk, haq-bathil, benar-salah dan lain sebagainya dianggap sederajat dan sama tidak ada sekat yang membedakan yang kontradiktif berbeda. Jika seperti itu maka ajaran agama akan kabur dan semakin tidak jelas. Padahal dalam islam dari nilai-nilai agamalah konstruksi perdaban terbentuk dan bukan budaya yang membentuk konstruksi agama. inilah yang membedakan antara islam dan Barat. Istilah multikulturalisme adalah lahir dari sejarah Barat. Istilah ini pernah muncul di Amerika pada tahun 1960. kala itu terdapat diskriminasi terhadap penduduk asli Amerika.

Tidak ada komentar: