Ads 368x60px

SEMANGAT MENULIS KATA

Rabu, Desember 28, 2011

PILKADA

Sejak tahun 1998 Indonesia mengalami transisi menuju negara demokrasi setelah lebih dari 32 tahun berada dalam cengkraman rezim otoriter. Perubahan-perubahan politik terjadi satu demi satu terangkai dalam kerangka demokrasi konstitusional. Kekuasaan yang semula sentralistik berubah menjadi desentralisasi dan akses masyarakat luas akan kekuasaan lokal semakin terbuka lebar.
Perubahan politik yang mem¬buka akses masyarakat ter¬hadap kekuasaan lokal adalah diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 yang mengamanatkan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, analogi dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Otomatis sejak tahun 2005 hingga kini serangkaian Pilkada digelar di seluruh wilayah negeri ini. Birokrat, Pengusaha, Aktifis Parpol, dan orang biasa kini dapat mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah atau Wa¬kil Kepala Daerah. Bahkan tahun 2008 perluasan akses masya¬rakat semakin kuat dengan dibukanya ruang calon independen dalam Pencalonan Pilkada.
Perubahan prosedur politik tersebut juga berimbas pada perubahan dinamika politik lokal karena perluasan partisipasi politik. Dahulu masyarakat hanya termangu-mangu menyaksikan penunjukkan Kepala Daerahnya yang kemudian pada tahun 1999 dapat berpartisipasi walaupun relaitf kecil melalui pemilihan Kepala Daerah di DPRD. Nah, sejak Pilkada tahun 2005 seluruh lapisan masyarakat tersedot untuk berpartisipasi dalam proses pilkada mulai dari upaya dukung mendukung maupun menjadi relawan ataupun Tim Sukses Pasangan Calon.
Dengan pilkada, peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun menjadi bertambah sebagai penyelenggara Pilkada baik di tingkat Provinsi maupun Kabu¬paten/Kota. Sejalan dengan ephoria politik yang terjadi, minat masyarakat untuk menjadi anggota KPU pun semakin luas untuk mensukseskan proses konstitusional tersebut.
Maksud diselenggarakannya Pilkada tak lain untuk mem¬per¬luas akses masyarakat ter-hadap kekuasaan politik juga untuk mendapatkan pemimpin yang de¬kat dengan rakyatnya karena dipilih secara langsung. Namun demikian, dengan biaya politik yang besar belum sepe¬nuhnya didapatkan pemim¬pin yang ber¬kualitas walaupun de¬ngan pil¬kada pilihan masya¬rakat menjadi beragam.
Niat yang baik selalu ada tan¬tangan yang menghadang, demikian juga dengan pilkada selalu mendapatkan “interupsi politik” melalui berbagai macam upaya pelanggaran aturan pilkada. Pelanggaran-pelang¬ga¬ran yang marak terjadi antara lain money politik, mobilisasi PNS dan tidak independennya pe¬nyelenggara pilkada mulai dari KPU hinggak KPPS. Terja¬dinya pelanggaran tersebut tak lain adalah upaya pasangan ca¬lon untuk dengan mudah me¬me¬¬nangkan persaingan se¬hingga mendapatkan kekuasaan politik.
Ketiga hal tersebut yang sering ditemukan dalam persidangan gugatan pilkada di Mahkamah

Tidak ada komentar: