Matahari mulai tenggelam di telan bumi ujung barat.
Langit yang cerah berwarna biru dan putih berubah menjadi gelap. Hiruk pikuk
kelelawar berterbangan melaksakan aktifitas seakan memberikan informasi kepada
penghuni bumi bahwa malam sudah mulai tiba dan saatnya untuk anak manusia
memasuki rumah, menutup pintu dan jendela serta menyalakan lampu sebagai
penerang kegelapan malam.
Lalu lalang kendaraan dijalan raya merayap sepi
bersamaan dengan candatawa anak-anak manusia di pelataran rumah dan lapangan.
Tampak beberapa laki-laki mengenakan sarung dan peci dan tersimpan di pundaknya
sajadah menyusuri jalan menuju suara panggilan adzan yang terdengar dari suara
toa masjid yang sudah mendayung-dayung memanggil umat islam untuk menunaikan
sholat berjamaah di masjid.
Sore itu tidak seperti biasanya penghuni desa
Nagreg sepi senyap di sore hari. Jamaah sholat yang biasanya sudah berkumpul
selesai adzan berkumandang tetapi setelah sepuluh menit adzan selesai penghuni
nagreg yang berada di dalam masjid hanya beberapa orang saja terhitung dengan
jari.
Sholat jamaah magrib pun tetap dilakukan walau tak
seramai biasanya. Disaat di masjid melaksanakan sholat berjamaah, tampak
seorang wanita tergopoh-gopoh berjalan sambil mengangkat roknya yang rombel
bermotif bergaris dengan tangan kirinya. Wanita tersebut mengetuk pintu sebuah
rumah yang tak jauh dari masjid. Rumah yang biasa menjadi pembantu masayarakat
nagreg dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“assalamualaikum teh….. teteh atoh…” wanita
tersebut mengetuk pintu rumah yang disebelahnya tampak warung yang sudah
tertutup rapat.
Pintu rumah terbuka dan tampak seorang perempuan
yang masih mengenakan mukena menyapa orang yang mengetuk pintu rumahnya
“walaikum salam… ada apa teh rani?” Tanya teh atoh yang membuka pintu.
“magrib-magrib kok tampak kebingungan? Apa yang bisa saya bantu teh?” teh atoh
menampakkan seluruh badannya disela-sela pintu.
“ begini teh, saya disuruh suaminya ibu eni untuk
membeli bunga tujuh rupa” jawab wanita yang bernama lengkap reni wulan sambil
merogoh saku bajunya yang tersimpan uang kertas.
Teh atoh tampak kebingungan dengan mengernyitkan
dahinya yang sebagian masih tertutup mukena. “kangge naon teh bunga tujuh rupa,
kok kayaknya ada sesuatu yang mendadak? Teh atoh menuju kedalam rumah sambil
mengambil kunci pintu warungnya yang sejak magrib ditutup.
Rani duduk di bangku kursi di depan warung teh atoh
yang terbuat dari bambu. “sekarangkan bu eni lagi hamil delapan bulan teh.”
“terus apa hubungannya bunga tujuh rupa dengan masa
kehamilannya ibu eni? Tanya atoh pada rani sambil membuka gembok pintu
warungnya.
“kata pak bahar, malam ini sekitar jam Sembilan
malam mau ada gerhana bulan”
“wah tambah bingung saya, terus…?” atoh bertambah
penasaran mendengar keterangan rani.
“begini teh, pak bahar sama bu eni tidak mau,
jabang bayi yang di kandungnya itu nanti terlahir dengan kulit belang-belang.
Jadi kalau tidak ingin jabang bayinya belang-belang, maka saat gerhana bulan
nanti malam bu eni harus mandi kembang tujuh rupa. Kalau tidak nanti seperti
anaknya pak didin yang laki-laki yang belang kulit wajahnya” rani nerocos
menerangkan pada teh atoh yang penasaran dan kebingungan.
“masak sih ran….?” Atoh sekan tak percaya dari
ucapan rani
“ye…. Itu sudah ajaran kokolot teh…. Bahkan tidak
cukup sekedar itu teh, orang yang sedang hamil terus melihat gerhana bulan maka
dia harus mandi kembang tujuh rupa dibawah diamben tempat tidurnya, kalau tidak
nanti juga belang-belang anaknya kalau terlahir.” Rani tampak menyakinkan dalam
bercerita.
Atoh tak percaya. “ memangnya pernah ada kejadian
ran, orang hamil terus meihat gerhana bulan dan anak yang di lahirkan
belang-belang?” atoh menyodorkan plastic warna hitam ke rani.
“ ya itu anaknya pak didin yang laki-laki itu kan
belang wajahnya, disebabkan istri pak didin gak mau mandi di bawah kolong
tempat tidurnya.” Rani menyodorkan uang kertas warna hijau ke teh atoh.
“ kamu percaya itu ran….?
“percaya ga percaya teh… namanya juga mitos… kalau
nggak percaya takut kuwalat. Ya itu seperti istri pak didin.” Rani berdiri dari
tempat duduknya “teh sekalian mie instannya satu ya…!”
“ada aja ya… mitosnya” atoh ambil mie instan
pesanan rani.
“lihat aja teh, bentar lagi orang-orang yang
keluarganya hamil ntar paling juga kesini”
“mo ngapain? Atoh tampak kebingungan
“ya mau pada beli kembang tujuh rupa” rani tertawa
melihat rani kebingungan
“saya kira mau pada ngelahirin di warung saya, bisa
jadi klinik nanti warung saya” atoh tersenyum melihat rani tertawa.
“ya sudah teh… mau pulang udah di tungguin bu eni,
makasih ya teh…. Dah gangguin” rani berpamitan pada atoh
“yach… ga pa-pa kok” atoh menanggapi ucapan rani
“ga usah di tutup warungnya teh, nanti orang-orang
pada bingung cari kembangnya! Ya udah ya assalamualaikum.” Rani beranjak pergi
tertelan di kegelapan caya lampu jalan yang redup.
“walaikum salam hati-hati ran, ada buta hijau yang
akan makan makan bulan malam nanti” atoh tersenyum mengiringi perginya rani
yang membawa plastic hitam berisi kembang tujuh rupa.
Atoh termenung, duduk di depan warungnya sendirian
melihat langit yang cerah di hiasi bintang-bintang dan bulan yang indah bulat
besar sempurna memancarkan cahayanya. Dalam pikiran atoh, benarkan apa yang di
ceritakan rani tadi. Orang hamil harus mandi tujuh rupa di bawah kolong tempat
tidurnya agar bayinya tidak belang kulitnya. Atoh terbengong, sesekali menghembuskan nafas
dengan suara desahan sambil menikmati udara malam. (ael)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar