Ads 368x60px

SEMANGAT MENULIS KATA

Selasa, September 11, 2012

Belangnya Jabang bayi Gerhana


Matahari mulai tenggelam di telan bumi ujung barat. Langit yang cerah berwarna biru dan putih berubah menjadi gelap. Hiruk pikuk kelelawar berterbangan melaksakan aktifitas seakan memberikan informasi kepada penghuni bumi bahwa malam sudah mulai tiba dan saatnya untuk anak manusia memasuki rumah, menutup pintu dan jendela serta menyalakan lampu sebagai penerang kegelapan malam.

Lalu lalang kendaraan dijalan raya merayap sepi bersamaan dengan candatawa anak-anak manusia di pelataran rumah dan lapangan. Tampak beberapa laki-laki mengenakan sarung dan peci dan tersimpan di pundaknya sajadah menyusuri jalan menuju suara panggilan adzan yang terdengar dari suara toa masjid yang sudah mendayung-dayung memanggil umat islam untuk menunaikan sholat berjamaah di masjid.

Sore itu tidak seperti biasanya penghuni desa Nagreg sepi senyap di sore hari. Jamaah sholat yang biasanya sudah berkumpul selesai adzan berkumandang tetapi setelah sepuluh menit adzan selesai penghuni nagreg yang berada di dalam masjid hanya beberapa orang saja terhitung dengan jari.

Sholat jamaah magrib pun tetap dilakukan walau tak seramai biasanya. Disaat di masjid melaksanakan sholat berjamaah, tampak seorang wanita tergopoh-gopoh berjalan sambil mengangkat roknya yang rombel bermotif bergaris dengan tangan kirinya. Wanita tersebut mengetuk pintu sebuah rumah yang tak jauh dari masjid. Rumah yang biasa menjadi pembantu masayarakat nagreg dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“assalamualaikum teh….. teteh atoh…” wanita tersebut mengetuk pintu rumah yang disebelahnya tampak warung yang sudah tertutup rapat.

Pintu rumah terbuka dan tampak seorang perempuan yang masih mengenakan mukena menyapa orang yang mengetuk pintu rumahnya “walaikum salam… ada apa teh rani?” Tanya teh atoh yang membuka pintu. “magrib-magrib kok tampak kebingungan? Apa yang bisa saya bantu teh?” teh atoh menampakkan seluruh badannya disela-sela pintu.

“ begini teh, saya disuruh suaminya ibu eni untuk membeli bunga tujuh rupa” jawab wanita yang bernama lengkap reni wulan sambil merogoh saku bajunya yang tersimpan uang kertas.

Teh atoh tampak kebingungan dengan mengernyitkan dahinya yang sebagian masih tertutup mukena. “kangge naon teh bunga tujuh rupa, kok kayaknya ada sesuatu yang mendadak? Teh atoh menuju kedalam rumah sambil mengambil kunci pintu warungnya yang sejak magrib ditutup.

Rani duduk di bangku kursi di depan warung teh atoh yang terbuat dari bambu. “sekarangkan bu eni lagi hamil delapan bulan teh.”

“terus apa hubungannya bunga tujuh rupa dengan masa kehamilannya ibu eni? Tanya atoh pada rani sambil membuka gembok pintu warungnya.

“kata pak bahar, malam ini sekitar jam Sembilan malam mau ada gerhana bulan”

“wah tambah bingung saya, terus…?” atoh bertambah penasaran mendengar keterangan rani.

“begini teh, pak bahar sama bu eni tidak mau, jabang bayi yang di kandungnya itu nanti terlahir dengan kulit belang-belang. Jadi kalau tidak ingin jabang bayinya belang-belang, maka saat gerhana bulan nanti malam bu eni harus mandi kembang tujuh rupa. Kalau tidak nanti seperti anaknya pak didin yang laki-laki yang belang kulit wajahnya” rani nerocos menerangkan pada teh atoh yang penasaran dan kebingungan.

“masak sih ran….?” Atoh sekan tak percaya dari ucapan rani

“ye…. Itu sudah ajaran kokolot teh…. Bahkan tidak cukup sekedar itu teh, orang yang sedang hamil terus melihat gerhana bulan maka dia harus mandi kembang tujuh rupa dibawah diamben tempat tidurnya, kalau tidak nanti juga belang-belang anaknya kalau terlahir.” Rani tampak menyakinkan dalam bercerita.

Atoh tak percaya. “ memangnya pernah ada kejadian ran, orang hamil terus meihat gerhana bulan dan anak yang di lahirkan belang-belang?” atoh menyodorkan plastic warna hitam ke rani.

“ ya itu anaknya pak didin yang laki-laki itu kan belang wajahnya, disebabkan istri pak didin gak mau mandi di bawah kolong tempat tidurnya.” Rani menyodorkan uang kertas warna hijau ke teh atoh.

“ kamu percaya itu ran….?                                                   

“percaya ga percaya teh… namanya juga mitos… kalau nggak percaya takut kuwalat. Ya itu seperti istri pak didin.” Rani berdiri dari tempat duduknya “teh sekalian mie instannya satu ya…!”

“ada aja ya… mitosnya” atoh ambil mie instan pesanan rani.

“lihat aja teh, bentar lagi orang-orang yang keluarganya hamil ntar paling juga kesini”

“mo ngapain? Atoh tampak kebingungan

“ya mau pada beli kembang tujuh rupa” rani tertawa melihat rani kebingungan

“saya kira mau pada ngelahirin di warung saya, bisa jadi klinik nanti warung saya” atoh tersenyum melihat rani tertawa.

“ya sudah teh… mau pulang udah di tungguin bu eni, makasih ya teh…. Dah gangguin” rani berpamitan pada atoh

“yach… ga pa-pa kok” atoh menanggapi ucapan rani

“ga usah di tutup warungnya teh, nanti orang-orang pada bingung cari kembangnya! Ya udah ya assalamualaikum.” Rani beranjak pergi tertelan di kegelapan caya lampu jalan yang redup.

“walaikum salam hati-hati ran, ada buta hijau yang akan makan makan bulan malam nanti” atoh tersenyum mengiringi perginya rani yang membawa plastic hitam berisi kembang tujuh rupa.

Atoh termenung, duduk di depan warungnya sendirian melihat langit yang cerah di hiasi bintang-bintang dan bulan yang indah bulat besar sempurna memancarkan cahayanya. Dalam pikiran atoh, benarkan apa yang di ceritakan rani tadi. Orang hamil harus mandi tujuh rupa di bawah kolong tempat tidurnya agar bayinya tidak belang kulitnya. Atoh  terbengong, sesekali menghembuskan nafas dengan suara desahan sambil menikmati udara malam. (ael)

Tidak ada komentar: